Selamat datang di blog Media Public

Minggu, 18 Desember 2011

Perempuan dan Pembangunan


Gender merupakan konsepsi yang diakui sebagai penyebab ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan berada pada status yang lebih rendah. Di Indonesia pendekatan gender telah diambil untuk peningkatan status perempuan melalui peningkatan peran dalam pembangunan. Peran perempuan menjadi satu topik diskusi yang sangat menarik karena selama ini peran perempuan di dalam pembangunan masih dapat dikategorikan terbelakang. Suatu yang bertolak belakang dengan berbagai hasil studi yang menunjukkan peran perempuan di tingkat pedesaan dalam rumah tangga sangat dominan. Curahan kerja perempuan di pedesaan seringkali lebih tinggi namun terbatas pada kerja reproduktif yang tidak dinilai secara ekonomi, sehingga penghargaan terhadap perempuan hampir tidak ada.
Pergeseran peran perempuan yang semula pada kerja reproduktif ke produktif semakin lama menunjukkan gejala peningkatan. Secara kuantitas, perempuan memang lebih unggul dibandingkan laki-laki, hal ini menunjukkan bahwa sumber daya perempuan memiliki potensi untuk berperan serta dalam pembangunan. Kualitas sumber daya perempuan juga tidak kalah dibandingkan dengan laki-laki.

Sex, Gender dan Pembangunan
Gender merupakan konsep yang sangat berbeda dengan sex (jenis kelamin). Pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin hanya menunjuk pada perbedaan biologis semata. Perbedaan secara biologis ini tidak dapat memasukkan dinamika sosial budaya yang sangat bervariasi antar struktur sosial masyarakat. Konsep gender berusaha menjawab hal ini. Gender merupakan pembedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang membentuk identitas laki-laki dan perempuan serta pola perilaku dan kegiatan yang menyertainya. Pengertian gender ini memberikan ruang yang sangat dominan terhadap dinamika sosial budaya masyarakat untuk turut mempengaruhi pembedaan peran laki-laki dan perempuan.
Sebagai hasil konstruksi sosial budaya, gender menjadi konsep yang dinamis antara ruang dan waktu. Penelitian sejarah telah membuktikan bahwa konstruksi sosial gender sepanjang waktu berubah-ubah. Terkadang hampir tanpa terasa dinamikanya, namun di lain waktu menjadi isu yang sangat menarik untuk diperdebatkan. Gender juga dapat menjadi komoditas politik, pengalaman sejarah menunjukkan pemerintah kolonial, pengabar Injil berkulit putih serta pengusaha telah membawa konsep gender dari struktur sosial mereka dan mencoba mengintroduksikannya pada masyarakat pribumi. Kegiatan ini menyebabkan dampak yang merusak bagi posisi dan kedudukan kaum perempuan pribumi yang berujung pada hilangnya hak, akses terhadap pekerjaan, kedudukan dan pengambilan keputusan di lingkungan negara maupun keluarga. Terkadang, penguasa kolonial juga menggunakan konsep gender untuk kepentingan ekonomi mereka, semisal untuk mempertahankan akses mereka terhadap tenaga kerja perempuan.
Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai konsekuensi wajar dari perbedaan biologis. Secara biologis, laki-laki dan perempuan memang berbeda. Untuk merubah perilaku sebagai akibat perbedaan biologis ini merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Perkembangan hasil-hasil penelitian ilmu sosial menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda tidak hanya sekedar akibat dari perbedaan biologis antara keduanya. Namun lebih dari itu, proses sosial dan budaya telah turut mempertajam perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
            Pembahasan mengenai gender, melahirkan tiga teori yaitu :
1. Teori Nurture
            Menurut teori ini perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Konstruksi sosial budaya selama ini menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kelas yang berbeda. Laki-laki selalu lebih superior dibandingkan perempuan. Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh kaum feminis internasional yang cenderung mengejar persamaan dengan konsep sama rata, konsep ini kemudian dikenal dengan istilah perfect equality. Perjuangan tersebut sulit tercapai karena berbagai hambatan dari nilai agama dan budaya.
2. Teori Nature
            Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat yang harus diterima. Perbedaan biologis memberikan dampak berupa perbedaan peran dan tugas diantara keduanya. tedapat peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak dapat dipertukarkan karena memang berbeda secara kodrat alamiah. Perjuangan kelas tidak akan pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kerjasama dan kemitraan secara struktural dan fungsional. Dalam kehidupan sosial terdapat pembagian tugas sehingga teori ini melahirkan pemikiran struktural fungsional yang menerima perbedaan peran asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan bersama.
3. Teori Keseimbangan
            Selain dua teori yang bertolak belakang tersebut, terdapat teori yang berusaha memberikan kompromi yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara laki-laki dan perempuan namun menuntut perlunya kerjasama yang harmonis antara keduanya.
Sebagai hasil bentukan sosial budaya, gender mengalami dinamika yang terus berkembang seiring perkembangan zaman. Gender bersifat spesifik dan berubah sesuai waktu dan tempat yang berbeda. Secara historis terdapat tiga masa yang dapat dijadikan bahan kajian perkembangan dinamika gender, yaitu masa awal kelompok masyarakat berkembang, masa negara dan kolonialisasi serta masa kapitalisme.
Pada awal kehidupan manusia yang ditandai dengan terbentuknya kelompok-kelompok kecil dengan kegitan utama berburu dan meramu, perbedaan peran laki-laki dan perempuan telah tampak. Laki-laki berperan dalam kegiatan berburu sedangkan perempuan berperan dalam kegiatan meramu. Perbedaan peran ini tidak mengindikasikan adanya ketimpangan gender, namun lebih ditekankan pada peran reproduktif perempuan.
Sebelum Dekade Wanita PBB dikumandangkan pada tahun 1975-1985, posisi dan peran perempuan telah diperhatikan oleh pemerintah negara dunia ketiga dan oleh organisasi internasional seperti WHO dan UNICEF. Peranan perempuan pada masa itu terbatas pada upaya pningkatan kesejahteraan keluarga dan tidak dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Perempuan menjadi sasaran program pembangunan di bidang kesehatan dan program “belas kasihan” yang menganggap perempuan perlu dikasihani.
Perempuan yang dicakup dalam program pembangunan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa mereka termasuk ruang lingkup domestik sebagai perpanjangan peran reproduktif. Peran perempuan tidak memungkinkan untuk mendapatkan penghargaan berupa materi, semua kegiatan yang dilakukan oleh perempuan dianggap bernilai sosial, sehingga pada masa 1950-1960-an perempuan memiliki peran dan tanggung jawab pada kegiatan sosial tersebut. Pembangunan dengan ciri modernisasi, terutama di bidang pertanian dengan introduksi teknologi dan mekanisasi menempatkan laki-laki sebagai agen kemajuan dan modernisasi. Perempuan ditempatkan pada peran reproduktif yaitu mengelola rumah tangga.
Kebijakan pembangunan kemudian berlanjut hingga pada akhirnya memunculkan konsep WID (Woman in Development). Konsep ini memusatkan diri pada peranan produktif perempuan yang telah mencoba merealisasikan tujuan pengintegrasian perempuan ke dalam pembangunan dalam berbagai cara, yaitu memulai program khusus perempuan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi. Proyek yang berakar pada konsep WID ini dikenal sebagai proyek peningkatan pendapatan. Tujuan utama proyek berbasis WID ini adalah meningkatkan peran, akses, kontrol dan benefit perempuan dalam pembangunan.
Partisipasi perempuan dalam pembangunan juga semakin ditingkatkan, yang dulunya semata-mata menjadi “objek pembangunan” kini mereka diikutsertakan menjadi “subjek pembangunan”. Keterlibatan perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan pembangunan menjadi gagasan baru. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran gender pada masyarakat, pengarusutamaan gender (gender mainstraming) dalam pembangunan menjadi sebuah keharusan.

Perempuan dan Kerja
Kerja dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kerja produktif dan kerja reproduktif. Perempuan selama ini diidentikkan dengan kerja reproduktif. Kerja reproduktif merupakan kerja yang berhubungan dengan kegiatan rumah tangga serta tidak menghasilkan pendapatan bagi keluarga. Pada masyarakat dengan basis pertanian, perempuan terlibat dalam pekerjaan produktif seperti mengelola lahan dan ternak. Selain itu, perempuan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan reproduktif seperti mengasuh anak, memasak, mencuci dan sebagainya. Hal ini bertolak belakang dengan laki-laki yang hanya melaksanakan kerja produktif dan tidak memiliki tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan reproduktif.
Penetrasi kapitalis yang ditandai dengan munculnya industri serta transformasi pertanian yang merubah pertanian subsisten atau semi-subsisten menuju pertanian berorientasi bisnis telah menyebabkan perubahan dalam pola relasi gender. Kerja yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan direlokasi dari kebutuhan keluarga atau rumah tangga menjadi kebutuhan untuk pemenuhan pasar. Moda produksi kapitalis didasarkan pada tiga bentuk transformasi sosial ekonomi, yaitu :
1.       Pemisahan antara produsen dari alat produksi dan subsistensi.
2.       Munculnya formasi kelas sosial yang menguasai alat produksi, yang dikenal sebagai kelas kapitalis atau borjuis.
3.       Komoditisasi tenaga kerja.
Komoditisasi tenaga kerja ini kemudian melahirkan adanya kelas pekerja atau proletar. Kelas ini dicirikan oleh ketidakadaan akses terhadap alat produksi serta sehingga untuk bertahan hidup, kelas ini harus menjual tenaganya kepada kaum pemilik alat produksi. Kapitalisme menyebabkan tenaga kerja menjadi sebuah komoditas yang diperjual belikan seperti halnya dengan komoditas lainnya. Nilai tenaga kerja dicerminkan dari upah yang didapatkan.
Posisi perempuan dalam ekonomi dijelaskan oleh relasi antara perkembangan produksi kapitalis melalui pertentangan antara kapitalis dan pekerja serta antara laki-laki dan perempuan. Posisi perempuan pada masyarakat modern kapitalis dicirikan oleh:
1.       Perempuan didentikkan dengan kerja rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari kerja ini tidak diberikan imbalan nilai.
2.       Perempuan merasa sebagai tenaga kerja sekunder dalam bidang produktif.
3.       Partisipasi perempuan terbatas pada kerja produktif sosial.
4.       Konsentrasi perempuan dalam sektor ekonomi utama dan level utama tenaga kerja.
5.       Upah perempuan yang relatif lebih rendah.
6.       Posisi perempuan pada kelas menengah dalam struktur masyarakat kapitalis.
Pembangunan pertanian yang ditandai dengan revolusi hijau mempunyai efek negatif terhadap perempuan pedesaan. Penelitian di India menunjukkan perempuan yang dikenal sebagai produsen pangan yang utama, selama berabad-abad telah menguasai pengetahuan yang hebat tentang pemilihan benih, kesuburan tanah, pertanian organik hingga teknologi tumpang sari. Teknologi baru yang diintroduksikan melalui pembangunan pertanian ala revolusi hijau telah menyebabkan tidak diakuinya lagi pengetahuan lokal yang selama ini dikuasai oleh perempuan. Program pembangunan pertanian juga lebih ditujukan kapada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Sedikit demi sedikit kedudukan perempuan tergeser dan menjadikan pertanian menjadi pekerjaan yang “maskulin”.
Studi pada masyarakat Asia dan Afrika menunjukkan bahwa perubahan yang diakibatkan oleh revolusi hijau terutama dalam bidang pekerjaan perempuan disebabkan oleh :
1.       Intensitas tenaga kerja untuk penanaman pada kondisi yang telah ada sebelumnya.
2.       Persyaratan teknis yang objektif dari metode yang baru.
3.       Pembagian kerja seksual pada keadaan sebelumnya.
4.       Bentuk-bentuk mekanisasi pertanian yang dikenalkan.
5.       Kelas sosial perempuan.
Secara lebih ringkas penelitian ini berkesimpulan bahwa secara umum beban kerja perempuan telah meningkat. Sistem ladang berpindah merupakan sistem produksi lama yang ditemukan di banyak tempat, termasuk di Indonesia. Sistem ladang berpindah sering diterapkan dalam masyarakat subsisten dan dalam masyarakat feodal, dimana tanah dan tanaman belum terlalu menjadi komoditas. Sistem produksi pertanian berubah sebagai akibat tekanan penduduk yang meningkat dan ketersediaan tanah hutan sebagai sember pangan yang berkurang. Pembukaan lahan mengalami penurunan intervalnya, sehingga kesuburan tanahnya belum sepenuhnya pulih. Konsekuensi dari hal ini adalah lebih banyak lahan hutan yang harus dibuka sehingga membutuhkan masukan tenaga kerja yang lebih banyak.
Penelitian Widodo (2006), menunjukkan bahwa perempuan pada usahatani lahan kering memiliki peran dalam pekerjaan produktif dan reproduktif. Ikut sertanya perempuan dalam kegiatan produktif sebatas pada kegiatan yang ringan dan membutuhkan ketelatenan. Laki-laki sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan reproduktif. Akses perempuan dalam kegiatan koperasi dan teknologi pertanian sangat terbatas bahkan dapat dikatakan tidak ada akses sama sekali. Sedangkan dalam aspek kontrol, perempuan memiliki peran yang besar terutama dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan keluarga. Laki-laki dan perempuan juga memiliki peluang yang sama dalam menikmati benefit usahatani yang dijalankan oleh keluarga. Penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan aktivitas antara laki-laki dan perempuan pada bidang pekerjaan reproduktif disebabkan oleh masih kuatnya budaya patriarki Jawa. Sedangkan perbedaan aktivitas dalam pekerjaan produktif lebih disebabkan perbedaan biologis dimana laki-laki lebih kuat dibandingkan perempuan. Faktor agama ternyata tidak memiliki pengaruh dalam perbedaan aktivitas, akses, kontrol dan benefit laki-laki dan perempuan.
Perempuan di perkotaan sebagian besar masih menjadi tenaga kerja di bidang industri dan sektor informal lainnya. Berbagai permasalahan pada perempuan pekerja di daerah perkotaan hingga kini tak kunjung usai. Mulai dari eksploitasi terutama kewajiban lembur serta masih kurangnya kesejahteraan yang diberikan oleh pengusaha hingga ancaman gangguan fisik maupun psikis bagi pekerja perempuan. Perempuan di perkotaan hingga kini juga masih menjadi objek pemuas seks melalui usaha pelacuran baik yang diorganisasi dengan baik maupun dilakukan secara perorangan.

Dinamika Gender Pada Usahatani Lahan Kering.
Secara Sosio-Budaya, dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu mengalami perubahan dari satu masa ke masa berikutnya, dari satu status ke status berikutnya, dari manusia primitif hingga manusia modern, dan lain-lain. Selanjutnya, semua hal itu disebut sebagai perubahan sosial, karena pada dasrnya manusia tidak statis.
Dalam ajaran religi modern (agama) disebutkan, manusia tercipta dalam dua jenis yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan. Namun, secara hakiki keduanya diciptakan dalam derajat, harkat dan martabat yang sama, meski memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda, agar bisa saling melengkapi dalam kehidupan.
Dengan perjalanan waktu, perkembangan sejarah dan budaya manusia, diiringi dengan perkembangan teknologi, mulai dari teknologi informasi dan transportasi modern, perkembangan ini tidak hanya merubah fungsi suatu alat, namun juga ikut merubah kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan dalam kehidupannya, berkeluarga, dan bermasyarakat. Proses tersebut lama kelamaan menjadi terlembaga, yang sering disebut-sebut dengan istilah “sudah membudaya”, dan berdampak pada penciptaan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Dilihat dari proses perkembangan sejarahnya, manusia ternyata dipengaruhi pula oleh penafsiran hidup manusia ribuan tahun yang lalu. Oleh karena itu, masalah peminggiran (marjinalisasi), pelabelan negatif, penomorduaan, beban ganda, tindak kekerasan dari satu pihak (laki-laki) ke pihak lain (perempuan) — baik di dalam maupun di luar kehidupan keluarga — telah berlangsung lama, sama dengan perjalanan sejarah dan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Di dasawarsa ini, hal tersebut populer dengan istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yang sering pula terdengar, justru pelakunya adalah perempuan.
Terkait hal itu, dan berdasar pada ICPD Cairo 1994, serta Konferensi Wanita Dunia di Beijing tahun 1995, Indonesia sebagai negara berkembang berupaya memberdayakan perempuan melalui perluasan keterjangkauan terhadap dunia pendidikan, pelayanan kesehatan, peningkatan keterampilan dan lapangan kerja serta menghilangkan berbagai ketidak adilan gender.
Hal ini perlu diwujudkan secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan, karena dalam sudut pandang sosial budaya, kondisi yang diciptakan atau direkayasa oleh norma (adat istiadat) membedakan peran serta fungsi laki-laki dan perempuan, yang berkaitan dengan kemampuan dan fisiknya, baik kemampuan universal seperti intelektual maupun spesifik (khusus) yang berkaitan dengan aspek biologis.
Sementara itu, dari pemahaman yang beragam dalam sudut pandang agama akan mewarnai serta mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan, dalam pemberian peran terhadap kedua kaum manusia. Tapi, dari sudut pandang ekonomi, memiliki anggapan bahwa perempuan dengan bentuk dan keterbasatan fisik biologis ikut dikondisikan sebagai makhluk yang kurang produktif dalam bidang ekonomi. Sedangkan laki-laki dikondisikan sebagai unsur pencari nafkah yang lebih produktif, sehingga laki-laki lebih banyakmemperoleh kesempatan untuk berperan pada berbagai sumber pembangunan.
Di dalam keluarga ataupun rumah tangga perempuan dipolakan sebagai unsur pengatur/pengguna penghasilan suami (laki-laki), dengan pembagian tugas antara yang menghasilkan (suami/laki-laki) dan yang mengatur pengeluaran (istri/perempuan). Bersambung.. (Hayunieta, SF Teriak-Bengkayang/ Hariadi, KMW I P2KP-2 Kalbar; Nina)

Perempuan dan Pembangunan: Marjinalisasi Kebijakan (Bag.2-Habis)
Pengobatan gratis KMW I P2KP2 Kalbar, semua panitianya perempuanSeiring dengan tuntutan kebutuhan hidup yang terus meningkat dan sering berakibat kaum  perempuan — khususnya lapisan bawah — harus bekerja mati-matian untuk mendapatkan penghasilan sebagai penopang kehidupan keluarganya. Walaupun perubahan sosial dan perkembangan zaman mendorong kaum perempuan bekerja di sektor publik, terdapat perbedaan motivasi di antara mereka, dalam hal ini adalah kaum perempuan kelas atas dan kaum perempuan kelas bawah.
Bagi perempuan yang berasal dari kelas menengah ke atas, motivasi bekerja bagi mereka adalah sebagai kebutuhan aktualisasi diri. Sementara, bekerja bagi kaum perempuan kelas bawah adalah tuntutan kehidupan yang mutlak, sehingga kaum perempuan dari kelas ini mengalami beban ganda. Beban ganda dalam hal ini adalah akibat terjadinya subordinasi tatanan masyarakat
Satu hal yang perlu digarisbawahi ketika kita berbicara mengenai upaya penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan kaum perempuan. Karena, mereka memiliki andil yang kuat dalam terciptanya kemiskinan masyarakat. Kaum perempuan juga memiliki andil terciptanya kesejahteraan masyarakat. Hal ini terjadi karena peran perempuan dalam keluarga sangat menentukan arah dan tujuan dari kehidupan keluarga itu sendiri. Namun, hal ini sering tidak disadari, sehingga penomorduaan terhadap peranan perempuan, kurangnya akses untuk mendapatkan informasi, masih minimnya pemberian peranan terhadap perempuan dalam pelaksanaan pembangunan, bahkan masih sangat minimnya kebijakan untuk memfungsikan perempuan dalam dunia politik — yang notabene berfungsi sebagai pembuat kebijakan pembangunan, — masih terus terjadi.
Satu hal yang sangat menarik yang sering ditemui di lapangan, dalam hal ini saat pelaksanaan berbagai siklus P2KP, yaitu fenomena keinginan kaum perempuan untuk mengikuti pertemuan. Tidak sedikit dari mereka yang sudah berjalan ke lokasi pertemuan, namun mengurungkan niatnya karena sebagian besar peserta yang hadir adalah kaum pria. Mereka merasa malu dan minder untuk terus melanjutkan langkah mengikuti pertemuan. Ada beberapa alasan yang ditemukan di sini, di antaranya adalah frame pemikiran bahwa kaum perempuan hanya pantas berdiam di rumah, sedangkan kegiatan rapat atau pertemuan-pertemuan hanya diperuntukkan bagi kaum lelaki. Hal ini menjadi salah satu alasan yang kuat bagi mereka untuk tidak menginjakkan kaki saat pertemuan dilaksanakan.
Tidak hanya itu, ketika kaum perempuan berusaha untuk ikut angkat bicara dalam pengambilan keputusan, seringkali pendapat mereka kurang dipertimbangkan atau kalah dengan sendirinya. Akibat lebih jauhnya, kaum perempuan lebih memilih diam saat pengambilan keputusan dilaksanakan. Mereka juga lebih memilih mengambil sikap nrimo pada keputusan yang diambil, yang notabene didominasi oleh suara kaum pria.
Ada banyak hal yang bisa diupayakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia perempuan sehingga dapat berperan secara aktif dalam pembangunan, di antaranya adalah sosialisasi secara berkesinambungan, membangun kesepakatan pembangunan pemberdayaan perempuan antara pemerintah, swasta. Dan, yang terpenting adalah masyarakat itu sendiri, agar mewujudkan kesetaraan gender di segala bidang, meningkatkan akses informasi yang dapat diterima oleh kaum perempuan di segala hal, khususnya informasi pembangunan, serta berupaya untuk melibatkan kaum perempuan dalam proses dan pengambilan keputusan.
Untuk tataran masyarakat level bawah, kaum perempuan merupakan tulang punggung utama dalam keberlangsungan hidup keluarga, sehingga dari segi waktu, mereka sama sekali tidak memiliki akses untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Dengan pemberian kesempatan kepada mereka untuk mengikuti pertemuan dalam rangka program-program pembangunan pada wadah pertemuan yang dikhususkan untuk mereka, akan membantu kaum perempuan untuk merubah cara pandangnya tentang hidup. Yakni, bahwa mereka memiliki hak dan memiliki andil yang cukup besar dalam pembangunan yang dilaksanakan di wilayahnya, sehingga lambat laun akan menimbulkan satu kepercayaan diri dari mereka untuk berperan serta aktif dalam pembangunan di berbagai sektor.
Hal ini membutuhkan perhatian dari seluruh pihak. Jadi, slogan kesetaraan gender tidak hanya sebagai slogan tetapi benar-benar mewujud dalam kehidupan masyarakat kita. (Slamet Widodo)
Readmore »» Perempuan dan Pembangunan